Close Menu
Nickel
nickel-1

Tersebar di Banyak Titik, Hanya Segelintir yang Kantongi Izin

IBARAT makan buah simalakama. Di satu sisi, keberadaan tambang galian C alias tambang pasir dan batu (sirtu) di suatu daerah sangat diperlukan untuk menopang proses pembangunan, terutama pembangunan fisik di daerah tersebut. Contohnya pembangunan jalan, gedung sekolah, hingga sarana peribadatan dan sebagainya. Di sisi lain, keberadaan tambang juga berpotensi merusak alam. Terutama jika penambangan itu dilakukan secara serampangan. Maka, pemerintah pun membuat regulasi agar dampak buruk dari proses penambangan itu bisa diminimalkan, bahkan dihindari. Yang terbaru, regulasi tersebut termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batubara. Dalam UU tersebut diatur, untuk dapat melakukan penambangan pasir dan batu, setiap orang atau badan wajib mengantongi izin dari pemerintah pusat. Yakni Izin Usaha Pertambangan (IUP). IUP yang dimaksud terdiri atas dua tahap, yang pertama adalah IUP Eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Sedangkan yang kedua adalah IUP Operasi Produksi yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, serta pengangkutan dan penjualan. Bukan itu saja, dalam UU tersebut juga tercantum kewajiban pihak penambang untuk menyetorkan jaminan reklamasi atau pasca tambang. Selain itu, setelah penambangan selesai, pihak penambangan wajib melakukan reklamasi alias pascatambang. Jika reklamasi tidak dilakukan, maka IUP-nya akan dicabut, uang jaminan reklamasi yang disetorkan tidak bisa diambil kembali, dan dikenakan denda yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Sementara itu, informasi yang berhasil dikumpulkan wartawan Jawa Pos Radar Banyuwangi, di antara sekian banyak lokasi penambangan sirtu yang telah beroperasi di kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini, ternyata hanya ada “segelintir” orang atau badan yang mengantongi IUP operasi produksi. Salah satunya adalah PT Anindya Makmur Sentosa yang kini melakukan penambangan sirtu di lahan seluas 55,39 hektare (Ha) di Desa Bedewang, Kecamatan Songgon. Petugas Bagian Administrasi PT Anindya Makmur Sentosa Muhammad Y mengatakan, untuk mendapatkan IUP Operasi Produksi, ada berbagai langkah dan syarat yang harus dipenuhi. Langkah pertama mengurus domisili usaha mulai tingkat desa atau kelurahan dan kabupaten. Setelah mendapat rekomendasi dari bupati, pihak calon penambang harus menemui stakeholder, contohnya petani atau pemilik lahan untuk mendapatkan surat kasa tambang. Hal ini diperlukan sebagai salah satu syarat mengurus izin ke pemerintah pusat, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Setelah syarat terpenuhi, Kementerian ESDM akan menerbitkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Selanjutnya, akan dilakukan eksplorasi, yakni pengecekan luas area yang akan ditambang dan pengecekan surat kuasa penambangan. Pengecekan itu dilakukan untuk memastikan apakah luas lahan yang akan ditambang sudah sesuai dengan luas yang diajukan ataukah tidak. Setelah luas area tambang disetujui Kementerian ESDM, pihak penambang harus berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk pembuatan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pematauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL). Selanjutnya, barulah penambang harus melakukan pembayaran jaminan reklamasi alias pascatambang dan menyetor penerimaan negara bukan pajak (PNBP). “Setelah itu semua dilakukan, barulah terbit IUP Operasi Produksi,” ujar Muhammad. Namun, kewajiban para penambang tidak berhenti di situ. Sebaliknya, setelah selesai melakukan penambangan, mereka wajib melakukan reklamasi atau pascatambang. “Jika tidak melakukan reklamasi, uang jaminan reklamasi tidak bisa ditarik kembali, izin akan dicabut, dan harus membayar denda ke negara,” kata dia. Selain itu, pihak penambang juga harus memberikan bimbingan atau penyuluhan kepada petani atau pemilik lahan, misalnya berkaitan dengan perubahan elevasi lahan dan sebagainya. Bahkan, Muhammad menambahkan, pihak penambang juga harus membayar pajak ke pihak pemkab, yakni pajak mineral bukan logam dan batuan. “Selain itu, kami juga memberikan dana corporate social responsibility (CSR) kepada masyarakat sekitar lokasi tambang, misalnya memberikan santunan akan yatim dan kaum duafa, berkontribusi dalam pembangunan masjid, dan sebagainya,” pungkasnya. (sgt) (bw/sgt/ics/JPR)